CULTURE OF NORMALIZING BAD BEHAVIOR (In my perspective as muslim woman)

Mei 23, 2022

Designed with Canva

Berkembangnya sarana komunikasi, media sosial memberi kita kemudahan dalam menerima informasi dari berbagai saluran yang ada. Keterbukaan informasi ini berdampak pada masuknya budaya luar yang sulit kita cegah. Dengan internet, kita saling terhubung dan dapat mengetahui isu yang sedang panas diperbincangkan oleh seluruh warga siber. We live in the era of information age. We get carried away. So many doors to knock on. Getting more curious and questioning everything.

Sering kali saya melihat postingan di media sosial tentang menormalisasikan berbagai hal. Dalam konteksnya yaitu normalizing something bad. Istilah normalisasi dalam KBBI di definisikan sebagai tindakan untuk menjadikan normal (biasa) kembali; tindakan mengembalikan pada keadaan, hubungan, dan sebagainya yang biasa atau yang normal. Dapat disimpulkan normalisasi berarti menjadikan suatu tindakan terlihat normal dan wajar dalam kehidupan sehari-hari.

Entah saya yang terlalu lama hidup di goa atau memang dunia sudah berubah, bukan hanya sekali dua kali saya mengalami culture shock melihat orang-orang yang diluar ekspektasi saya. Knowing something new is kinda fun, but sometimes it surprises me all at once. Misalnya saat saya sedang scroll Twitter menemukan tweet-tweet ambigu, tabu, lalu juga berkaitan dengan budaya barat yang masuk ke Indonesia dan hal itu menjadi dianggap ‘normal’ bagi golongan tertentu. Lebih spesifiknya menormalisir LGBT, seks, pelecehan seksual, plagiarisme, dan perilaku amoral lainnya. Saat membaca fiksi di Wattpad dan Twitter, tak sedikit anak dibawah umur menggemari konten BL (boys love), kemudian normalisasi penggunaan kata-kata kotor untuk mengumpat, dan maraknya cyberbullying yang masih sering kita jumpai di dunia maya. Semua fenomena ini tentu terjadi diluar kendali kita.

Negara kita yang kental dengan adat istiadat, budaya, dan agama serasa tidak ada nilainya lagi jika masalah tersebut menerus merajalela. In Indonesia we used to being normal to refuse taboo things, and not being normal to accept it. Sadly, mereka yang idealis mencoba untuk menormalisasi hal yang nggak normal. Dalih “setiap individu memiliki kebebasan dalam berekspresi” menjadi senjata saat mereka diserang. Yeah, you are not wrong, but you guys live in Indonesia right now. Mereka ingin dihargai pendapatnya, namun tak menghargai tempat dimana mereka berada.

As a muslimah, I thought it was wrong because everything has been explained in the Al-Qur’an. Disisi lain, sejak kecil kita dididik untuk menjadi pribadi yang sopan santun dan tidak melanggar norma sosial yang berlaku. Kita diajarkan oleh orangtua untuk membedakan hal yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, mana yang pantas dan tidak. So, that’s why I can’t relate to their opinion right away. Lagi-lagi lingkungan bermain menjadi faktor yang mempengaruhi cara individu mengambil suatu keputusan.

Belum lama saya membaca thread yang ditulis oleh kaum LGBT di negara kita mengenai ajakan untuk Coming out dan menormalisasi bahwa homoseksual bukanlah hal yang salah. Coming out merupakan istilah untuk mengungkapkan orientasi seksual kepada orang lain. Awalnya saya pikir di relpy-annya akan terjadi twitwar, sebaliknya sender mendapat banyak dukungan dari circle-nya maupun dari kelompok non-LGBT. Dari sini saya agak tercengang dan sempat lupa dimana saya berada. That’s Twitter, not Facebook. Beberapa orang menyuarakan jika homoseksualitas merupakan preferensi seseorang, jadi kita harus menghargai keputusan mereka. Benar, it’s not even my bussiness, it’s their decision to being straight or being the others. Once again, sebagai bagian dari masyarakat Islam saya tidak bisa menormalisasi hal tersebut. Bicara mengenai homoseksualitas bukanlah hal yang baru, hanya saja di era digital ini mereka terlihat lebih aktif dan menampakkan diri di publik. Terlebih di dalam kitab sudah disebutkan bahwa kaum sodomi sudah ada sejak zaman nabi. Maraknya homoseksualitas selalu mengingatkan saya pada tanda-tanda kiamat.

Contoh lainnya adalah normalisasi pelecehan seksual. Baik di dunia maya maupun nyata sering saya dengar cerita-cerita mengenai tindakan asusila itu. Sayangnya, tindakan kecil kerap disepelekan. Akibatnya korban memilih untuk menyimpan rahasia mereka karena tidak didengarkan. Korban yang seharusnya mendapat keadilan justru mendapat tekanan. Belasan tahun saya bersekolah juga tidak ada kajian mendalam mengenai pelecehan seksual yang disampaikan didalam kelas dari textbook maupun guru. Sehingga dasar-dasar perbuatan asusila kurang dipahami dan menjadi bias. Dalam pandangan islam pelecehan seksual merupakan perbuatan hina dan dosa besar akibat lunturnya nilai-nilai kemanusiaan.

Tren beropini berkedok open minded, liberal, idealis… dari cuitan-cuitan tersebut dapat merubah banyak orang untuk memiliki satu keyakinan (mindset) yang sama.They called it as a trend. Right, technology is able to change people instantly. It helps create a culture of acceptance. Keterbukaan informasi salah satunya mengakibatkan mudahnya penerimaan terhadap hal-hal baru, dalam artian orang bersikap welcome saat mendapat informasi tanpa ditelaah kembali. Orang yang sebelumnya tidak aware, setelah melihat tindakan normalisasi perilaku buruk dapat berpikiran “Oh, ternyata ini hal yang normal”. Dengan begitu penilaian seseorang berubah dengan tidak wajar.

Dalam penelitian Bares dkk pada tahun 2021 yang berjudul ‘Don’t You Know That You’re Toxic: Normalization of Toxicity in Online Gaming’, mereka berpendapat bahwa pemain online game yang menormalisasi perilaku toxic dipengaruhi oleh adanya moral disagreement. Moral disagreement menurut Hyde, Shaw dan Moilanen adalah suatu proses ketika salah satu keyakinan atau nilai-nilai moral membenarkan perilaku antisosial, terdapat kurangnya disonansi atau hambatan untuk terlibat dalam tindakan antisosial sehingga tindakan tersebut dapat diterima.

Disini saya memang menolak adanya normalisasi sesuatu yang tabu dan tidak memaksa pembaca untuk sependapat dengan saya. Saya belajar menghargai pendapat orang lain, namun dalam kasus ini bukan berarti saya membenarkan opini mereka yang mana sangat bertentangan dengan keyakinan saya.

Then, think about it! What will happen to this world if we normalize toxic behavior? Boom! The world is gonna be messed up obviously.

So, what should we do?

Menormalisasi perilaku buruk kedepannya tidak akan menolong masa depan bangsa, sebaliknya menjadi lubang hitam yang dapat menjerumuskan generasi penerus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Tidak sewajarnya menormalisasi hal-hal yang sudah jelas dilarang dalam aturan-aturan didalam agama Islam maupun aturan masyarakat setempat. Tidak akan ada habisnya jika kita menggali siapa yang salah. Baik dari pemerintah, lembaga sekolah/tenaga pendidik, orangtua, lingkungan masyarakat, maupun individu itu sendiri, pada dasarnya memiliki tanggungjawab dalam pembentukan perilaku. Perlu diingat, perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri. Hal utama yang harus kita normalisasi adalah pentingnya berpikir kritis sebelum menerima sesuatu dengan tangan terbuka.

You Might Also Like

0 comments

Member of

BLOG STATS

HAVE A NICE DAY ❤

HAVE A NICE DAY ❤